Secarik Catatan Perjalanan dari Klawasi, Pesisir Papua : Deretan Rumah di Atas Lautan

June 08, 2018


TRAVEL AND ADVENTURE
 
SECARIK CATATAN PERJALANAN DARI KLAWASI, PESISIR PAPUA
DERETAN RUMAH DI ATAS LAUTAN


MANUI AWOI AIRAU.
Dalam Bahasa Serui Ansus, artinya rumah yang berada di laut. Dalam bahasa sehari-hari, masyarakat setempat (dan yang menempatinya) menyebutnya RUMAH BERLABUH. Bentuk rumah ini berupa rumah panggung yang dibangun di atas air dan terbuat dari kayu. Mayoritas masyarakat yang tinggal di rumah berlabuh adalah masyarakat nelayan.



Saya dan Shinta baru dua jam menginjak tanah Papua, tapi kami harus segera bergegas melakukan peliputan. Dari Rumah Singgah Sedekah Rombongan (RSSR) Sorong, ‒bersama beberapa Kurir Sedekah Rombongan (SR) Sorong, kami bertolak ke RSUD Sele Be Solu, Kota Sorong, mengunjungi pasien dampingan yang tengah rawat inap. Kegiatan dilanjutkan dengan makan siang di Warung Tampa Makang, ‒warung makan yang menyajikan makanan khas Makassar dan Papua. Yang menarik justru setelah ini, usai makan siang kami bergegas ke daerah Klawasi, Distrik Sorong Barat, Kabupaten Sorong, ‒bersilaturahmi ke kediaman salah satu pasien dampingan.

Baca Juga :

Mobil Tanggap Sedekah Rombongan (MTSR) Sorong yang kami tumpangi merapat ke pinggir jalan di tepian laut. Entah berapa lama, atau berapa jauh perjalanan dari tempat makan ke tempat tujuan ini. *Kayaknya, sepanjang perjalanan waktu itu aku  tertidur di mobil, jadi aku nggak ingat hihihi.. (Habis, capek dan ngantuknya nggak bisa kutahan. Gilak!) Tapi menurut Shinta, untuk sampai ke tempat tujuan kira-kira memakan waktu dua sampai tiga puluh menit. Begitu sampai, kami cepat-cepat turun dari mobil. Saya pun menemukan pemandangan berbeda yang baru pernah kulihat saat itu : jajaran pemukiman warga berdiri di atas lautan...




Ya! Rumah pasien dampingan yang kami kunjungi ada di RUMAH BERLABUH, tepatnya berada di Klawasi, Distrik Sorong Barat, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Rumah-rumah berlabuh ini dibangun di atas lautan, fondasinya terbuat dari kayu-kayu dan bambu. Dinding-dinding dan atapnya kombinasi dari kayu dan seng. Bagian dalamnya kurang lebih sama, berlantai kayu, ruangan-ruangannya bersekat kayu lapis. Rumah-rumah itu mayoritas dihuni oleh keluarga-keluarga dari kalangan pra sejahtera.

Kami berkunjung ke rumah salah satu warga di sana, sekaligus pasien dampingan kami, namanya Mama Yusmina. Untuk mencapai rumahnya, dari tepi jalan saya harus menyusuri jembatan kayu. Jangan bayangkan saya bakal menyebrang di jembatan yang bagus, justru jembatan ini tersusun dari kayu apa adanya. Beruntungnya, letak rumah pasien tidak terlalu jauh dari daratan, hanya sekitar dua puluh meter saja. Jadi saya pun tidak terlalu jauh berjalan menyusuri jembatan kayu, hehe.

Ada rasa canggung ketika menyeberangi jembatan itu, takut nyebur ke laut. Harus hati-hati ketika menyusuri jembatan yang permukaannya tak rata itu. Saat itu saya merasa sedikit sulit untuk menyeimbangkan langkah, mungkin karena kurang fokus. Kurasa waktu itu saya merasakan jet lag karena penerbangan malam harinya. Belum lagi, kantuk dan lelah menyerang, rasanya seperti kehilangan energi. *Jadi itulah alasan kenapa wajah saya di foto-foto di sesi ini terlihat kurang stand out (baca: kucel), bahkan pake make up pun nggak ngaruh cyn~ dan kantung mata saya, ahh sudahlah...


Ketika didokumentasikan, tempat ini mungkin terlihat begitu menawan dan instagramable. Tapi jangan salah, aslinya cukup memprihatinkan, lho. Deretan rumah berlabuh itu terlihat serupa, konstruksinya semi permanen dibangun seadanya. Belum lagi, sampah-sampah mengapung di bawah rumah. Soal air bersih untuk kebutuhan memasak, mereka mengambil dari ‘daratan’ dan membawanya ke rumah mereka. Kalau laut sedang pasang, tinggi air bisa mencapai lantai rumah. Pada saat itu gelombang laut pun katanya cukup menyeramkan. Tapi masyarakat yang tinggal sudah biasa dan tak ada rasa takut sedikit pun dengan risiko-risiko itu.

Tapi, warga lokal yang tinggal di sana terbilang ramah, ‒meski secara penampilan terlihat seram. Ketika kami sapa dengan senyuman, mereka pun membalas dengan sikap lebih ramah lagi walaupun wajah-wajah kami termasuk wajah “asing”. Mereka bahkan mengizinkan kami memotret mereka, setelah sebelumnya meminta izin dari mereka. Memang, istilah tak kenal maka tak sayang harus selalu dijunjung ketika memulai sebuah perkenalan. Rasanya, berbaur dengan mereka pun bukan hal yang sulit.



Satu pengalaman baru saya dapat di hari pertama perjalanan saya ke Papua.
Nuansa kekeluargaan amat terasa ketika saya mengunjungi kampung ini, terutama di rumah Mama Rosmina. Hilang bayangan buruk tentang warga lokal di sana (karena penampilan mereka). Hanya satu kendala, masalah bahasa, tetapi komunikasi yang nggak nyambung itu bisa ditepis dengan sebuah senyum yang ternyata bisa dimengerti bersama. Jadi, jangan takut merangkul saudara kita dari timur sana...

RUMAH BERLABUH KLAWASI
KLAWASI, PESISIR PAPUA

‒ Teks oleh : Nisya Rifiani / Juni 2018 ‒
‒ Dokumentasi Foto oleh : Shinta Wuri Handayani ‒
:: Don’t copy any materials in this blog without permission ::

You Might Also Like

30 comments

  1. Wihhhh Seru banget perjalanannya mbakk mampir ke blogku juga yaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, lumayan seru lah, sayangnya cuma di seputar sorong aja...

      Delete
  2. keren, tapi agak bahaya juga kayaknya ya, harus hati-hati jalannya biar gak kecemplung.
    mampir yuk ( mentaribaliholiday.com )

    ReplyDelete
  3. Daerahnya kelihatannya masih terpencil ya mbak. Soalnya dari segi rumah2nya juga masih tradisional. Perjalanan yang mengesankan kalu bisa ke situ mah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenernya lokasinya terjangkau kok, perjalanan sekitar sejam dari kota. Tapi lokasi ini memang banyak masyarakat pra-sejahtera...

      Delete
  4. seru banget bisa ke sana, udaranya pasti masih seger banget ya

    ReplyDelete
  5. asik yaa bisa blusukan ke daerah2 eksotis begitu, tapi kalo aku pasti ndredeg lewat jembatan kayunya itu :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah dapet kesempatan liputan sampai sini..
      Hhahaha, kalo soal nyebrang jembatan, aku juga ndredeg mb...

      Delete
  6. Ini mirip perkampungan di Banjarmasin, mbak. Bedanya kalo yg di Banjarmasin itu di atas sungai, bukan laut. Rumah-rumah di sana pd punya garasi, tapi untuk nyimpen kapal, bukan mobil :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, ada juga yang serupa ya, canggih jg rumah terapungnya ada garasinya...
      Kalau di sini, mayoritas masyarakatnya dari kalangan pra sejahtera...

      Delete
  7. Subhanallah bisa punya kesempatan untuk berkunjung yaa mbaaaa, butuh stamina setronggg pastinya, dan buatku uji nyali juga kalo pepotoan di atas jembatan itu 🙈

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup! Bener banget, harus jaga stamina dan asupan makanan selama di sana...
      Apalagi saat itu kegiatan liputan padat...

      Delete
  8. walopun tempatnya instagramable tapi kondisinya memprihatinkan... bener-bener kena sih ini mba, emang kadang-kadang apa yang terlihat digambar ga bisa menggambarkan kondisi aslinya ya mba :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau dilihat memang terkesan "instagramable" ya. Tapi di foto itu hanya menampilkan sebagian.. Bener katamu, memprihatinkan... :(

      Delete
  9. Mantap aku jadi kangen fak fak makkk hiksss

    ReplyDelete
  10. Mbak.. Keren banget bisa berkesempatan berpetualang ke tanah papua... 👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah udah pernah nginjek tanah papua... :)

      Delete
  11. Asik bgt ya mbak pengalamannya. Duh MB, saya bakal kewer juga kalo suruh jalan di atas kayu yg bawahnya laut gini .Secara takut ketinggian dan air 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lho itu sya juga kewer, cuma sok kul biar nggak ngisin-ngisini, dan herannya adik-adik di sana lewat jembatan sana sambil lari-larian... ^^

      Delete
  12. ke papua hmmm keren.. mg2 bs ksana suatu saat nnti

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Ke sana buat liburan aja mb, jangan ada agenda qerja kayak aku... :(

      Delete
  13. Wah pengalamannya Nisya banyak yaa, aku penasaran sama makanan khas mereka, enak bener ga Nisy?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah dikasih kesempatan sampai sini. Aku cuma nyoba beberapa kayak ikan asap sambal colo-colo, papeda dan ikan kuah kuning, kue lontar dan kue sagu, abon gulung, menurutku enaakkk manda...

      Delete
  14. Mbak... jembatannya ngeri gitu euy buat dilewatin. Hahaha. Tapi seru sekaliii saat kerjaan ngasih "kemewahan" ke kita pengalaman-pengalaman yang belum tentu banyak orang bisa cicipi kayak gini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya jembatannya begitu... :(
      Betul, di kala perusahaan lain ngasih fasilitas mewah (dlm arti sebenernya), aku kalo liputan keliling indonesia ya kunjungannya ke tempat-tempat kayak gitu, mayoritas ke pelosok-pelosok desa, ke gunung jg pernah, ketemu pasien dari golongan pra sejahtera... nginep di rumah singgah bareng pasien-pasien kita... Tapi pengalamannya ini juga langka, dan nggak semua orang bisa dapet...

      Thnks ifa. Sejujurnya, kalimatmu bikin aku semangat menjalani profesi ini... :)

      Delete
  15. Asyiknya bisa mengunjungi bumi Allah di timur sana. Seneng bisa baca pengalaman, Mbak.

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe